Maret 2023, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja 2023”). Terdapat pergeseran terhadap perubahan Pasal 64 sampai Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) terkait alih daya (outsourcing).
Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan ketentuan mengenai outsourcing hanya dibatasi pada pekerjaan tertentu (non-core), yakni:
A. Pekerjaan dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
B. Pekerjaan dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
C. Pekerjaan merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
D. Pekerjaan tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Kemudian UU Cipta Kerja 2020 menghapus pembatasan tersebut sehingga pekerjaan utama (core) ataupun penunjang (non-core) bisa menjadi objek pekerjaan outsourcing sepanjang disepakati di dalam perjanjian tertulis. Selanjutnya, pembatasan pekerjaan yang menjadi objek outsourcing kemudian diubah kembali melalui UU Cipta Kerja 2023 yang mana perubahan terdapat pada Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3) yang dinyatakan bahwa “Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan dan ketentuan lebih lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Saat ini dalam praktiknya, ketentuan pelaksana mengenai alih daya masih merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP No. 35/2021”). Sehingga aspek core dan non-core juga masih belum menemukan titik terang. Penggunaan regulasi alih daya yang telah dibentuk oleh Kementerian Ketenagakerjaan sebelumnya pun sudah dicabut pasca terbitnya UU Cipta Kerja 2020.
Terlepas dari ketidakjelasan pembatasan pekerjaan yang dapat menjadi objek alih daya, UU Cipta Kerja dan PP No. 35/2021 membawa titik terang dengan diaturnya pembebanan tanggungjawab atas Pekerja outsourcing sepenuhnya kepada Perusahaan penyedia jasa outsourcing. Selain itu, UU Cipta Kerja juga mulai mengatur mengenai upaya jaminan pekerjaan (job security) bagi Pekerja outsourcing sebagaimana diatur dalam perubahan Pasal 66 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang mana perjanjian dalam bentuk PKWT untuk Pekerja outsourcing harus mencantumkan klausul TUPE (transfer of undertaking protection of employment/pengalihan perlindungan hak bagi pekerja).
TUPE memberikan perlindungan hukum bagi Pekerja outsourcing dengan perjanjian PKWT yang mana ketika Perusahaan pengguna melakukan pergantian Perusahaan outsourcing yang lama, sepanjang objek pekerjaannya tetap ada, maka Perusahaan outsourcing yang baru harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini masa kerja yang telah dilalui (service years) oleh para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional. Apabila pekerja outsourcing tersebut diberhentikan dengan alasan pergantian perusahaan outsourcing, maka para pekerja diberi kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial sebagai sengketa hak.
What’s Next?
Pada tanggal update release ini maka ketentuan pelaksanaan kegiatan alih daya (outsourcing) masih merujuk pada PP No. 35 Tahun 2021, sehingga dalam praktiknya masih belum ada syarat-syarat pembagian pekerjaan yang dapat menjadi objek alih daya. Selanjutnya, akan terus dilakukan peninjauan best practice implementasi pembaruan perjanjian outsourcingserta memantau update regulasi dan proses revisi PP No. 35/2021 yang saat ini sedang berjalan.
Kontak Kami:
Andy R. Wijaya Partner andy@resolva.law |
Yati Nurhayati |
M. Yasir Said |
Citra Astari |